JAKARTA - Keterlambatan pencairan dana untuk biaya 
hidup para penerima beasiswa Bidikmisi menyusahkan berbagai pihak, 
terutama mahasiswa. Oleh karena itu, ke depan pembayaran biaya hidup 
direncanakan tidak lagi per bulan, melainkan per semester. 
Demikian 
diungkapkan Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa) 
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Ilah Sailah dalam 
konferensi pers terkait beasiswa Bidikmisi. Dia menyebut, wacana untuk 
memperlakukan beasiswa Bidikmisi seperti gaji sudah diungkapkan oleh 
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh.
"Ke 
depan, Pak menteri akan memintakan agar beasiswa diperlakukan seperti 
gaji karena menyangkut biaya hidup jadi tidak ada pemblokiran," ujar 
Ilah di fX, Senayan, Jakarta Selatan, Rabu (10/4/2013).
Walau 
begitu, Ilah menegaskan, pihaknya akan tetap memantau perkembangan 
mahasiswa penerima Bidikmisi setiap bulan. Sebab, ada kondisi-kondisi 
tertentu yang mungkin terjadi pada penerima Bidikmisi yang menyebabkan 
beasiswa itu dicabut.
"Kami tetap akan meminta Surat Keputusan 
(SK) rektor tiap semester. Bisa saja anaknya mengundurkan diri, drop out
 (DO), atau menikah dengan konglomerat, dan hal-hal lain yang tidak 
diharapkan," jelasnya.
Tahun ini, lanjutnya, besaran beasiswa 
Bidikmisi tidak berubah, yakni Rp600 ribu per bulan. Namun, Ilah tidak 
menampik jika perguruan tinggi dapat memberikan bantuan yang lebih besar
 dari jumlah tersebut sesuai kebijakan masing-masih universitas.
"Besaran
 Bidikmisi beda-beda, minimal Rp600 ribu per bulan. Tapi di Universitas 
Tanjungpura (Untan) Pontianak Rp650 ribu, di ISI Padang Panjang Rp700 
ribu, dan ITB Rp900 ribu. Namun, masih banyak perguruan tinggi yang 
salah. Pembayaran hanya dikali empat padahal harusnya dikali enam bulan.
 Karena saat libur mereka tetap butuh makan," jelasnya.
Ilah 
mengaku, sebelumnya tidak pernah ada keterlambatan atas pencairan dana 
Bidikmisi. Kalaupun pernah, katanya, sebatas pencairan saja yang 
terlambat sementara dananya ada dan tidak dibintangi.
"Kami harap,
 hal-hal yang menyangkut kepentingan orang banyak dan sensitif tidak ada
 lagi bintang-membintang. Bagaimana caranya biar tidak terjadi lagi. 
Dulu pernah telat, tapi sudah jelas apa yang boleh dipergunakan. 
Bintangnya saja yang tidak ada. Maka, kami (Kemendikbud), DPR, dan 
Kemenkeu harus introspeksi agar hal-hal seperti ini tidak terjadi lagi,"
 imbuh Ilah.(rfa) 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar