Angin dingin musim semi bulan lalu tidak menghalangi ratusan orang
antre dan bayar tiket sekitar Rp 150.000 hanya untuk naik lift ke
platform kedua Menara Eiffel di Paris, lalu menikmati pemandangan bagus
sekeliling ibu kota Perancis, tentu sambil potret-potret. Setelah
injak bumi lagi di bawah, biasanya orang-orang pun tersenyum dan
berbisik-bisik dalam hatinya, “Untung sudah ke Eiffel, jadi sudah sah
ke Paris!”
Padahal, sebelumnya, beberapa peserta dari serombongan turis Indonesia
dari Astra CMG bawaan Berlian Wisata Jakarta sempat melontarkan
gurauan, antara lain, “Olala, untung lift Menara Eiffel kagak macet,
kayak lift di Monas Jakarta.”
Soal lift macet kemudian menjadi pembicaraan juga. Eddy Efendy, pemimpin
rombongan itu, menganggap pengelola menara setinggi 300 meter atau
320,75 meter termasuk antena itu cukup telaten merawat menara
konstruksi besi baja seberat 7.000 ton yang diresmikan sejak 31 Maret
1889.
“Pertengahan tahun 1990-an Eiffel pernah ditutup beberapa hari karena
pemogokan karyawannya. Sekarang ini turis hanya antre dan masuk dari
kaki barat. Pintu masuk timur ditutup,” kata Eddy yang menyebut angka
sekitar 10 juta turis per tahun pernah ke Eiffel.
Menara Eiffel, yang memakai nama Gustave Eiffel (1832-1923) itu,
dirancang di saat negara-negara adikuasa di abad ke-19 itu lagi gandrung
berlomba bikin pameran kemajuan industrinya. Perancis pun ingin
merayakan 100 tahun Revolusi Perancis pada 1889, sekalian meneruskan
gagasan pembangunan menara 1.000 kaki atau kira-kira 304,8 meter dari
Richard Trevithick tahun 1832.
Dari sayembara untuk mencari lambang pameran itu, terpilih rancangan
Gustave Eiffel yang memilih konstruksi dengan bahan besi cor, bukan
bangunan baja yang menurutnya terlalu ringan, juga tidak mampu menahan
terpaan angin.
Bangunan megah itu pun jadi, malah bertahan sebagai menara besi
tertinggi di Eropa sampai tahun 1930. Meski hanya dibangun selama 18
bulan, konstruksi yang terdiri dari 10.000-an potong besi cor sambungan
yang dikerjakan 230 pekerja itu hanya minta korban satu jiwa.
Sedangkan pembantu Eiffel ada 50 insinyur ikut merancang sekitar 5.300
gambar bagian menara, untuk membuat sekitar 18.000 potong besi cor
penopang yang banyak berbeda-beda bentuknya.
Seluruh bagian menara yang hanya berayun sekitar 10 sentimeter, meski
diterpa angin 250 kilometer per jam itu, dibangun dengan dirakit atau
prefab. Bagian besi yang paling berat sekitar 3.000 kilogram itu
sebagian menyetel besi di daratan sebagian lagi dibor di tempatnya, agar
cocok satu sama lain. Makanya tidaklah ajaib kalau seluruh lubang
bor untuk mur baut itu sampai tujuh juta lubang!
MONAS atau Monumen Nasional amatlah membanggakan. Selain dipakai sebagai
lambang Pemprov DKI Jakarta, monumen tegakan pualam 132 meter
termasuk pucuk emasnya yang berbentuk lidah api itu konon berbahan
emas seberat 35 kilogram. Tugu, yang katanya terinspirasi paduan
lingga-yoni sebagai lambang kesuburan, serta merta menjadi lambang DKI
Jakarta yang “kagak liat Monas, belon liat Jakarta”.
Monumen rancangan Ir F Silaban yang resmi dibangun 17 Agustus 1961, di
masa puncak kemegahan pemerintahan Presiden Soekarno, baru terbuka
untuk umum pada 12 Juli 1975. Mulai saat itu Monas menjadi bahan gosip
pariwisata, serta sasaran kunjungan segala macam orang gede dan
kecil. Taman sekitaran Monas pun mendapat sentuhan biar asri, serta
dibuatkan juga “air mancur joget”. Pokoknya Monas menjadi ikon khas
Jakarta.
Soal perawatan dan pengelolaannya tentu saja ada lapisan instansi
pengurusnya. Sebab, Monas yang tegak sendirian di sumbu tengahnya
lapangan terbuka besar sejak zaman Pak Harto, Pak BJ Habibie, Gus Dur,
Mbak Mega, sampai mungkin zamannya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
kini tetap menjadi lambang kebanggaan bangsa.
Yang pasti Monas yang persis di “pekarangan” depannya Balaikota, sejak
zaman Bang Ali seakan-akan sudah menjadi simbol DKI Jakarta. Bahkan
Gubernur Sutiyoso, yang memegang kendali DKI Jakarta semasa “lima
Presiden RI” nyaris setiap malam upacara peringatan Ultah DKI Jakarta,
boleh dikata memakai pelataran Monas sebagai arena upacaranya.
Sayang seribu kali sayang, Bang Yos yang sayang Monas itu rupanya tidak
diimbangi kinerja bawahannya. Sebab Monas pernah bikin kaget, bikin
malu, dan bikin syok. Misalnya pada 23 Maret 2004 lalu suplai listrik
PLN tiba-tiba angot dan mati.
Alhasil, lift pun macet-cet. Puluhan anak-anak sekolah terjebak di pucuk
Monas. Mereka yang panik dan ketakutan itu harus dievakuasi turun
dengan bantuan petugas dan polisi, melewati lorong tangga darurat di
ruang gelap. Wuuih, skandal itu pasti bikin malu. Eh belum sempat
diberesin seberes-beresnya, pada hari Minggu 2 Mei 2004 lift Monas
macet-cet-cet lagi.
Ratusan orang terbengong-bengong dan ngeper karena harus turun tangga
karena lift yang cuma mampu angkut naik turun 12 orang dewasa itu macet
tulen.
Usut punya usut, ternyata lift merek Hitachi itu eks China, bukan
Hitachi made in Japan. Padahal, lift impor seharga Rp 1,7 miliar itu
baru dipasang pada 1 Januari 2004 dan sudah macet meskipun masih dalam
waktu garansinya.
Juga belakangan diketahui bahwa urusan Monas itu amatlah reseh juga
ribet. Sebab instansi yang terkait cukup banyak kait-kaitannya. Misalnya
soal penerangan ditangani Dinas Pertamanan dan Keindahan Kota, juga
Dinas Perhubungan pun ikut main dalam urusan perambuan. Tramtib pun
dari Kantor Wali Kota Jakarta Pusat, belum lagi ada Unit Pelaksana
Teknis di bawah Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI.
Sedangkan anggaran pengelolaannya sekitar Rp 15 miliar setahun. Entah
gimana kisahnya cara pembagian duit dinas itu, pasti bakalan seru
karena tiap grup pekerja itu mau bagiannya masing-masing. Sementara
soal perawatan, ya jangan bahas kiri atau kanan deh, buktinya saja
PLN pun sampe-sampe nyetopin aliran setrum ke Monas, hingga lift
macet dan mati lampu.
Sambil melihat gairah turis yang mejeng-mejeng dan rebutan bikin foto di
sekitaran Menara Eiffel Paris, pikiran pun melayang membayangkan
kalau kejadian mirip-mirip macam itu terjadi juga di sekitaran Tugu
Monumen Nasional di Jakarta. Meski Monas kalah jauh tingginya, juga
kalah tua dan seru umur dan kisah sejarah pendiriannya, Monas masih
bisa dibanggakan kok.
Sebab Jakarta yang suka dibilang seram kejam dan muram seharusnya
diimbangi dengan pengelolaan dan perawatan Monas dan taman sekitarannya.
Sebab ruang terbuka hijau yang rada besar terletak di kawasan
istimewa strategisnya itu, mungkin salah satu dari sedikit areal
kebanggaan DKI Jakarta. Juga Monas yang mirip tegakan tugu obelis
marmer plus obor emas murninya, ya okelah daripada kagak ada monumen
kebanggaan lainnya lagi.
Tapi sayang dua kali sayang, Monas yang setiap tahun segala ongkosnya
dibayarin Pemprov DKI sampai belasan miliar rupiah kok hampir kagak
berasa sentuhan perawatannya. Selain kotor dan kusam, juga lift-nya yang
buatan China sudah terbukti pernah macet dan bikin serem. Juga pada
bulan lalu diributkan karena kontrak kerja Pemprov DKI dengan
perusahaan pemborong sistem pencahayaan Monas katanya belum oke-oke.
Sedangkan rencananya dalam menyemarakkan HUT Ke-478 DKI Jakarta bulan
Juni ini sekujur tubuh Monas bakalan dimandikan cahaya warna-warni
lagi, ditambah sorotan gambar juga tayangan foto gubernur-gubernur
yang pernah megang Jakarta. Ditambah sinar laser serta mandi sorotan
cahaya lampunya, pokoknya Monas pada HUT-nya mendatang bakal seronok
menor.
Jadi kalau orang Paris bangga dengan Menara Eiffel, orang Jakarta juga
bangga dengan Monas-nya. Meski pejabat kota ini kurang becus dan bagus
merawatnya, ya terima saja, karena cuma segitu kok bisanya. Makanya
jangan bandingin Eiffel dengan Monas ya. Kalau Eiffel olala, Monas
mah tralala...
TahukahKamu.com | sumber: blogbelajarpintar.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar